Dahulu banyak Tokoh Nasional yang lahir dari Sumatra Barat. Kita tahu ketokohan dan kemampuan mereka itu berangkat dari hasil pendidikan yang baik. Baik itu pendidikan di jalur pesantren maupun pendidikan formal seperti SD, SMP dan SMA atau disebut juga sekolah barat.
Disisi lain juga kita menghadirkan sekolah yang berbasis surau atau pesantren yang kental dengan nuansa agamis. Kita tahu dahulu lelaki minang dididik di surau, termasuk orang sekaliber M. Natsir, M. Hatta, dan lain lain, mereka adalah produk surau.
Sudah lama, fakta empiris itu menjadi kebanggaan Ranah Minang. Namun belakangan, kebanggaan itu memudar. Terus tergerus memudar. Produk sekaliber Natsir dan Hatta bagai produk langka. Dunia pendidikan kita hari ini belum mampu mencetak produk hebat seperti mereka. Apa yang salah?
Jujur saja, sebagai walikota walau tingkat pengangguran di Payakumbuh terbilang rendah (3,7 persen menurut BPS), namun tetap saja problem pengangguran ini terus dikadukan warga kepada saya. Mereka bukan tidak sekolah, bahkan sarjana.
Padahal sekolah kita katanya sudah lebih baik dari pada sekolah dahulu. Bahkan seorang yang tamat S1 pun hari ini masih mencari pekerjaan sebagai THL (Tenaga Harian Lepas) yang upahnya setara UMP (Upah Minimum Provinsi). Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Di luar masalah pengangguran, yang tak kalah risaunya kita bahwa institusinya pendidikan hari ini hanya menghasilkan sarjana atau lulusan, tetapi belum mampu melahirkan manusia yang pemikir, pendorong mesin pertumbuhan. Malah kadang mereka jadi beban masyarakat, kurang memiliki kesadaran tanggung jawab sebagai warga Negara. Lebih parahnya, sekedar menjaga kesopanan dan kesantunan saja mereka tidak mampu.
Keadaan ini akhirnya membawa saya berfikir agak mendalam, apa yang salah dengan dunia pendidikan kita.Apalagi baru-baru ini saya kedatangan Pembina salah satu sekolah favorit di Payakumbuh yaitu Pembina Yayasan Sekolah Raudatul Jannah. Sekolah ini dibangun oleh keluarga besar kami.
Kepada saya mereka mengadukan dua hal. Pertama mempertanyakan masalah dunia pendidikan kita hari ini. Kedua, nostalgia perjalanan sekolah yang dulunya merupakan sekolah favorit di payakumbuh.
Namun sekarang sudah banyak sekolah islam favorit yang bisa dipilih masyarakat bahkan di Payakumbuh juga banyak murid- muridnya berasal dari pulau Sumatera dan pulau Jawa, seperti Insan Cendekia, Mutiara Hati, dan lain- lain.
Masalah pertama sangat relevan dengan kerisauan kami dan yang kedua masalah persaingan tentu itu hal yang bagus untuk menghadirkan kualitas. Satu hal kami bersyukur, karena Payakumbuh mampu menghasilkan sekolah baik dan bagus yang kita harapkan bisa memicu perubahan Pranata sosial kita di Indonesia.
Kenapa saya sampaikan demikian, karena pada hari ini kadang – kadang pendidikan kita tidak menghasilkan orang yang punya akal sehat yang cukup untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, memiliki daya saing, inovasi, namun juga santun, religius dan punya kontribusi kemandirian bangsa.
Jangankan berbicara kemandirian bangsa, kemandirian dia sendiri saja, sering tidak mampu dia perjuangkan. Apakah dia tamat SMA, atau tamat perguruan tinggi, masih mencari pekerjaan, dan sebagian masih jadi pengangguran.
Di rumah saya saja surat lamaran untuk bekerja di kantor balaikota sudah menumpuk setinggi kurang lebih 2 meter. Mau diapakan?
Daya tampung kita sangat terbatas. Semua orang mintanya ingin bekerja di kantor balaikota, PDAM, atau BUMN Payakumbuh yang masih mungkin untuk ditempati. Padahal setiap tahun via dinas tenaga kerja dan perindustrian kita juga mengirim mereka bekerja di Batam, Jabotabek, Banten dll.
Berdasarkan keadaan demikian, saya menilai ada yang salah dengan sistim pendidikan kita. Terlepas orang lain mengatakan tidak, tapi pemikiran saya tetap mengatakan ada yang salah.
Kesalahan kita yang pertama adalah, kita membangun pendidikan tidak berdasarkan karakter dan budaya bangsa kita yang nilai- nilainya berangkat dari akar nilai islam. Kalau adat kita mengatakan, “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” itu ada benarnya.
Persoalan lain juga hari ini, kita terlalu banyak meloloskan undang-undang yang bersinggungan dengan pendidikan yang itu semua belum tentu menghadirkan kebaikan kepada dunia pendidikan kita bahkan kadang kontra produktif.
Saya berikan contoh, saat ini sedikit saja kita salah mengajari anak murid kita, maka guru bisa terkena undang undang perlindungan anak. Sehingga sekarang guru takut untuk memarahi murid. Padahal memarahi murid dalam rangka mendidik, mungkin itu adalah sebuah hal yang perlu kita bangun.
Ini jenis undang-undang apa yang kita pakai sekarang ini. Siapa yang memasukkan nya dulu kita tidak tau. Kemudian kemarin kita juga mempersoalkan RUU Perlindungan Kekerasan Sexual (PKS) yang memuat banyak agenda.
Kami melihat, RUU ini secara tatanan sosial akan menghancurkan ikatan ikatan keluarga sebagai kekuatan bangsa dan Negara, mengabaikan beberapa hal yang bersifat moralitas bangsa, dan itu semua kalau diakomodir akan jelas menghancurkan dunia pendidikan kita.
Saya akhirnya ketika dikunjungi oleh Raudatul Jannah juga mempersoalkan hal ini dan bersama Pembina membuat beberapa ide setelah berdiskusi untuk mencoba di Payakumbuh. Perubahan yang lebih mendasar dengan dunia pendidikan kita setidaknya di lingkup Payakumbuh.
Sebuah pemikiran untuk memberikan pola-pola pendidikan yang lebih memandirikan bangsa ini dengan segala potensi manusianya, memberikan nilai intelektualitas serta daya inovasi untuk terus berkontribusi pada bangsa ini agar bisa sejajar dengan bangsa lain.
Pola-pola pendidikan menghadirkan kemandirian, menghadirkan pendidikan dan nilai moral yang baik. Sehingga seseorang itu memiliki 3 kriteria yang kita inginkan. Pertama adalah orang yang mandiri, yang kedua adalah orang yang cerdas, yang ketiga adalah tentang keagamaan yaitu hafizul alim.
Hafizul alim artinya orang yang bisa memelihara daerah ini atau bangsa ini dengan baik dan dia tahu caranya dan punya kemauan yang kuat untuk itu atau alim. Dia tau bagaimana cara membuat sesuatu itu berjalan dengan baik. Tentu dengan waktu yang tidak terlalu lama agar dia bisa cepat “dewasa” untuk itu.
Bahkan kalau perlu tidak harus membuat sekolah SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun kalau itu bisa diselesaikan lebih cepat kenapa tidak.
Dengan muatan kurikulum yang lebih baik dari yang ada saat ini. Dan kita tambahkan dengan muatan-muatan yang menambahkan kemandirian tadi, memberikan penerangan kepada akal budi, dan memberikan karakter yang kuat untuk bisa dinilai kapasitas moralitas dan kapasitas nilai-nilai yang dia anut termasuk kesantunannya kepada orang tua, dan tentu tanggung jawabnya kepada keumatan dan bangsa ini.
Hari ini banyak kita temukan murid yang melawan kepada guru, anak yang melawan kepada orang tua. Ada apa dengan pendidikan kita?? Harusnya kita pertanyakan lebih serius.
Saya sedang berfikir dengan berbagai kendala yang ada, ingin membangun sebuah sistim pendidikan yang baru. Mudah-mudahan ini bisa memberikan kontribusi kepada Sumatera Barat yang sejarahnya dahulu menghasilkan tokoh-tokoh yang kalibernya internasional dan medunia.
Kita pun tidak kehilangan jati diri kita sebagai orang minang dan orang muslim yang bisa menyampaikan apa adanya, siapa kita.
Hari ini kita berbicara masalah keagamaan merasa malu, dikatakan kita intoleran, dikatakan kita tidak pancasila, sampai ada istilah saya pancasila, saya Indonesia, dan lain-lain.
Apakah umat Islam ini kurang nasionalismenya? Apakah umat Islam ini tidak punya saham pada republik ini? Apakah umat Islam ini tidak berjuang dahulunya, apakah pendiri bangsa ini bukan umat Islam?
Ini suatu muatan pengaburan yang sangat jelas dimasukkan di dunia pendidikan, bahkan ke masyarakat luas. Harusnya kita lebih waspada, dan kedepannya mari kita bangun sistim pendidikan kita.
Kalau pendidikan nasional tidak menghadirkan sesuatu yang lebih baik, harusnya kita yang bergerak untuk memajukan pendidikan kearah yang lebih baik.
Jangan terlalu bergantung pada sistim yang berada di Nasional kalau itu terbukti gagal,sementara kita harus memberikan Pendidikan yang baik dan merupakan kebutuhan yang wajib kita hadirkan untuk anak dan cucu kita.
Bukan karena kita tidak nasionalis, tapi justru sebaliknya. Apabila kita tidak menghadirkan ini jangan-jangan nanti Minangkabau habis minangnya, hanya tinggal kabau yang tersisa.
Ini jangan sampai terjadi, harusnya tetap apa yang kita warisi ini dari orang-orang tua kita dahulu harusnya kita lebih baik, diperkaya dan mampu meramunnya menjadi yang terbaik untuk kedepannya. Kita harus menghadirkan sesuatu yang terbaik untuk Negara ini.
Untuk itu mari kita bangun kesadaran bersama, mari kita bangun dunia pendidikan kita yang benar-benar bisa menghasilkan manusia yang memang kelasnya dunia. Bukan manusia yang menjadi beban. Ibaratnya kumpulan ombak banyak, tapi hanyalah buih. Lebih baik sedikit tapi berkualitas dan bisa menghadirkan kekuatan.
Kesadaran ini saya lihat di Minangkabau tidak hadir disebabkan oleh 3 hal. Pertama yaitu tidak dekat dengan nilai yang telah diwarisi oleh pendahulu kita yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Kedua, kebanggaan kita pada Minangkabau adalah kebanggaan yang bersifat kesombongan dan ketakaburan. Hal inilah yang membawa kita pada kebodohan. Ini harus kita buang. Yang harus kita bangun adalah Ketawaduan. Ketawaduan bukan berarti rendah diri, tapi dengan ketawaduan kita hadirkan kekuatan.
Sikap ini menghadirkan kesadaran bahwa kita selalu punya kekurangan dan untuk itu terus menerus memperbaiki diri. Bukan lupa diri. Kopassus saja tidak pernah mengatakan mereka prajurit terbaik tetapi mengatakan bahwa mereka adalah prajurit terlatih. Jangan pernah sombong. Kita harus terlatih menerima beban bangsa ini, dan kalau kita menyelesaikan beban Sumatera Barat saja tidak bisa bagaimana bisa menanggung beban bangsa ini.
Ketiga, adalah pewarisan nilai kebaikan sebagai dasar karakter orang minang yang diwariskan orang tua kepada anak, oleh mamak kepada kemenakan, tidak terjadi dengan baik hari ini. Karena kesadaran sebagian ninik mamak sebagai pemimpin sudah sangat luntur hari ini.
Banyak niniak mamak “melacurkan diri” untuk hal-hal yang sederhana. Yang itu hanya bersifat materil atau sekedar kesenangan dunia. Inilah yang membuat kita mundur kebelakang sudah sangat jauh hari ini.
Saya sebagai orang minang sangat prihatin, dan sangat berharap ini tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang. Kita harus lebih bangkit lagi untuk kedepannya. Mari bangun. Membangun pendidikan kita yang lebih baik. Mambangkik Batam Tarandam. InsyaAllah!!
Penulis :
Riza Falepi (Walikota Payakumbuh)