Balai Bahasa Gandeng Dinas Kominfo Gelar KDT Pantau Media Luar Ruang

216

HumasKominfo — Bekerja sama dengan Balai Bahasa Padang, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Payakumbuh gelar Kelompok Diskusi Terpumpun (KDT) tentang Pengawasan dan Pengendalian Bahasa pada Media Luar Ruang di Ruang Randang, Balai Kota Payakumbuh, Selasa (13/8).

Kegiatan KDT yang dalam bahasa Inggris biasa disebut FGD itu, diikuti oleh puluhan insan media baik dari media cetak, media daring, media elektronik, dan lainnya.

Staf Ahli Wali Kota Payakumbuh Ruslayetti didampingi Kabid Kehumasan Diskominfo Irwan Suwandi menyampaikan, kegiatan ini sangat strategis dan penting untuk dilakukan dalam pemakaian Bahasa Indonesia secara baik dan benar terutama bagi insan media.

“Apalagi sekarang era globalisasi, kemajuan teknologi informasi membuat masyarakat semakin kritis dalam melihat sebuah informasi,” ucapnya.

Menurut Ruslayetti, dengan adanya kerja sama dengan Balai Bahasa ini, Diskominfo Payakumbuh telah bergerak maju untuk mewujudkan semakin tertibnya pelaksanaan dan pemakaian bahasa di kalangan media.

“Untuk itu kami berterima kasih dengan adanya kerja sama ini. Semoga terus berkelanjutan kegiatan-kegiatan ini ke depan,” tuturnya.

Kegiatan KDT kemudian dipimpin oleh Peneliti dan Penyuluh Senior dari Balai Bahasa Sumbar, Rita Novita. Rita menekankan pentingnya pemakaian Bahasa Indonesia sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bahasa Negara.

“Khusus di ruang publik, sudah
diatur dalam pasal 36 ayat 3 UU tentang Bahasa Negara tersebut bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia,” tuturnya.

Diskusi semakin hangat ketika sejumlah peserta mempertanyakan pemakaian kata serapan dari Bahasa Arab yang sudah diintegrasikan ke dalam Bahasa Indonesia. Menurutnya, penulisan kata serapan dari Bahasa Arab tersebut tidak sesuai dengan makhraj dalam bahasa asalnya. Misalnya penulisan musala, salat, dan seterusnya.

Rita menjawab, seharusnya memperlakukan kata dari bahasa apa pun termasuk Bahasa Arab yang sudah diserap menjadi Bahasa Indonesia, seperti memperlakukan kata dalam Bahasa Indonesia.

“Cara memperlakukannya adalah memaknainya dengan logika bahasa Indonesia, bukan dengan logika bahasa asal kata yang diserap itu. Jadi harus sesuai dengan aturan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar,” ujarnya.

Tapi di sisi lain, Rita juga memberikan solusi, jika masih bersikukuh untuk memakai kata salat dengan penulisan shalat, maka harus ditulis ataupun dicetak miring. “Transliterasi itu karena kata transliterasi harus ditulis miring karena merupakan kata asing,” ucapnya. (*)