Payakumbuh — Para Bundo Kanduang dan Puti Bungsu 10 Nagari yang ada di Kota Payakumbuh tampak antusias dalam mengikuti Festival Payakumbuh Marandang yang digelar di Medan Nan Bapaneh Ngalau Indah, Sabtu (23/11).
Tampak aksi para wanita kebanggaan utusan dari nagarinya itu mengaduk-aduk gulai selama kurang lebih 20 hingga 30 menit agar santannya tidak “pocah” sebelum siap menjelma menjadi Kalio dan barulah akan siap menjadi Randang yang kelezatannya sudah diakui oleh dunia.
Membuat Randang ini butuh kesabaran dan keuletan, karena apabila tidak begitu maka rasanya akan berbeda, perlu diperhatikan besar api tungku dan tidak boleh sampai kurang mengaduknya sehingga yang memasak harus sabar berada di dekat tungku terus, ini butuh kesabaran luar bisa.
“Kali ini kami memasak Randang Tumbuak, dimana daging digiling saat mentah, dan beri bumbu dan ada namanya yaitu Kelapa Randang, kemudian daging tersebut dibulat-bulatkan, setelah minyak santan Randang yang ada di masak di tungku keluar, barulah daging dimasukkan sampai matang dan dimasak menjadi Randang,” kata Ketua Bundo Kanduang Nagari Aua Kuniang Hendriati.
“Kalau lah ado rondang diateh rumah, kutiko awak ado tamu datang awak indak susah menjamunyo lai do, lah ado persiapan, karono dek urang tuo-tuo kito daolu manyadiokan rondang diateh rumah toruh, jadi iko lah budayo kito nan harus dilestarikan, apolai pemerintah maadoan acara mode iko, kito bisa pulo manunjuak an baa nan Randang Payokumbuah geh ka ughang banyak,” imbuhnya dalam bahasa khas Aua Kuniang.
Ketua Bundo Kanduang Koto Nan Godang Efni Nazir menyebut di nagarinya banyak macam masakan Randang, di setiap rumah tangga bisa membuat Randang dengan berbeda seperti Randang baluik, dagiang, ayam, paru, telur, jamur dan ikan ruan.
“Bahkan samiskin-miskin KK di Koto Nan Godang, maco dan cubadak bisa menjadi Rondang, masakan nan ciek ko lah lokek di darah kito urang minang, mangkonyo urang Koto Nan Godang selalu manyadioan Rondang dirumah, katiko ado olek nagoripun kito manghidangkan Rondang,” katanya dengan logat Koto Nan Godang.
Sementara itu, Ketua Bundo Kanduang Parambahan Syafni mengatakan mereka juga memasak Randang Tumbuak, Randang mereka buat ini dimasak selama kira-kira 3 jam mulai dari mempersiapkan bahan hingga sampai matang.
“Kita di Parambahan biasanya membuat Randang daging tanpa ditumbuk, namun kali ini kita mencoba dan belajar membuat yang berbeda lagi,” katanya.
Selanjutnya, ada Ketua Bundo Kanduang Koto Panjang Nuraini yang menyebut Rondang Batumbuak di pos mereka kali ini dimasak oleh Rang Mudo Koto Panjang.
“Di Koto Panjang yang paling diminati masyarakat adalah Randang khusus seperti Randang Baluik yang memakai daun-daunan, sepeti daun surian dan daun mali-mali, rasanya sangat enak,” terangnya.
Lain lagi dengan Bundo Kanduang Nagari Koto Nan Ompek Riwayati yang menyebutnya Rondang Lauak Tumbuak. Randang di Koto Nan Ampek biasanya dibuat untuk kegiatan pesta seperti baralek, perhelatan sebelum puasa, sebelun hari raya, khusus untuk hari-hari besar lainnya, pasti ada rendang.
“Untuk makan sehari-hari bisa juga, setidaknya sekali seminggu orang Koto Nan Ompek memasak Randang, sama seperti nagari lainnya dimana banyak varian menu Randangnya,” katanya.
Ketua Bundo Kanduang Limbukan Yeni Ghazali menyebutkan Randang Tumbuak bagus untuk anak-anak yang susah makan karena teksturnya lembut sehingga mudah dicerna.
“Tidak hanya dimasak dan disediakan untuk pesta, anak-anak bagus mengonsumsi Randang dimana bumbunya alami, bukan memakai bumbu buatan seperti makanan siap saji,” katanya.
Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Pariwisata Kota Payakumbuh Andiko Jumarel mengatakan eksistensi Randang di Payakumbuh dibuktikan dengan masih melekatnya jiwa menanamkan tradisi lokal di nagari yang tersebar di wilayah kota yang dipimpin oleh Riza Falepi ini.
“Tidak hanya diikuti ibu-ibu sebagai Bundo Kanduang, namun ada Puti Bungsu dari kalangan pemudi nagari yang ikut memasak randang, artinya penanaman nilai luhur dari warisan budaya lokal masih kental di Payakumbuh,” katanya. (Humas)