#Serial Kepahlawanan Humas Diskominfo Payakumbuh
HumasKominfo — Menuju peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus mendatang, Bidang Kehumasan Diskominfo Payakumbuh membuat rubrik serial kepahlawanan yang mengangkat berbagai tokoh, baik yang menjadi pahlawan pada masa lalu maupun yang masih hidup pada masa sekarang. Semoga serial kepahlawanan ini bermanfaat dan menginspirasi masyarakat.
Pada tulisan pertama kali ini, kami mengangkat sosok seorang ulama dari Koto Nan ampek, Payakumbuh, yang juga menjadi pejuang kemerdekaan RI. Adalah Buya Zainuddin Hamidy, seorang ulama kelahiran Koto Nan Ampek, Payakumbuh, 8 Februari 1907. Beliau merupakan pendiri Ma’had Islamy pada 1932 setelah pulang menimba ilmu dari tanah suci Mekah. Sosoknya patut diketahui lebih dalam untuk diteladani oleh generasi sekarang dan mendatang.
Untuk menelusuri jejak kepahlawanan beliau, Tim Humas Diskominfo Payakumbuh menemui putra Buya yang tinggal di Balai Nan Duo, Kota Payakumbuh yaitu Ramzi Zainuddin (77 tahun).
Alumni Mekah, Hafal Qur’an dan Sepuluh Ribu Hadits
Buya Zainuddin adalah ulama hafizh (hafal Qur’an), sekaligus mufassir (ahli tafsir). Sebagaimana Buya Hamka yang menulis tafsir Al-Azhar, Buya Zainuddin juga menulis kitab tafsir. Kitab Tafsir Qur’an ditulis bersama sahabatnya Fakhruddin HS, seorang ulama asal Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota.
Dalam Kitab Tafsir tersebut, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli alias Inyiak Canduang turut memberikan testimoni. Menurutnya, kandungan tafsir yang ditulis Buya Zainuddin menjadi nikmat bagi masyarakat terutama bagi mereka yang belum paham akan bahasa Arab. “Kepada umum saya anjurkan supaya membaca dan mempelajari Tafsir Quran ini,” ujar ulama yang sering disebut Ustadz Abdul Somad dalam ceramahnya itu.
Tentang sosok Buya Zainuddin, Buya Hamka pernah bertutur. “Ustadz Syekh Haji Zainuddin Hamidy adalah seorang yang sederhana. Percakapan dari mulutnya hanya satu-satu, tidak banyak. Bila orang bercakap tentang yang tidak berfaedah, ia hanya diam. Jika orang bertanya, dijawabnya dengan senyum. Senyum yang mengandung seribu satu arti. Ia seorang yang pendiam,” kata Buya Hamka.
Selain ahli dalam Ulumul Qur’an, Buya Zainuddin ternyata juga menguasai ilmu hadits. Karyanya yang berjudul Terjemahan Shahih Bukhari, Terjemahan Hadits Arba’in, dan Musthalahul Hadits menjadi bukti kafa’ahnya dalam ilmu hadits. Dalam buku “Para Penjaga Al-Qur’an…” dikatakan, Buya Zainuddin Hamidy hafal lebih dari 10 ribu hadits. Kata muridnya Haji Haffash, Buya Zainuddin bahkan hafal hadits lengkap dengan sanadnya. Rasanya, gelar Muhaddits juga layak disandingkan pada sosok yang satu ini.
Menjadi seorang ulama yang faqih, mufassir sekaligus muhaddits, tentu tak datang tiba-tiba. Sejak kecil, Buya Zainuddin sudah belajar menghafal Qur’an di surau. Setelah tamat dari sekolah Governement, Buya melanjutkan pendidikannya di Darul Funun Padang Japang, Kabupaten Limapuluh Kota. Sebuah ponpes yang diasuh oleh Syaikh Abbas Abdullah, ulama kenamaan asal Padang Japang yang juga murid dari Imam Besar Masjidil Haram saat itu, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Di Darul Funun, kecerdasan Buya Zainuddin sudah terlihat. Bahkan ketika menginjak kelas enam, ia sudah sering ditunjuk sebagai guru kelas lima. Kecerdasannya yang di atas rata-rata membuat Syaikh Abbas ingin Zainuddin muda tetap di Darul Funun agar kelak bisa menggantikan dirinya. Namun, sang “Angku Mudo” masih sangat haus ilmu. Motivasinya yang besar untuk menuntut ilmu menghantarkannya ke tanah suci Mekah tahun 1927.
Di tanah haram, Buya Zainuddin belajar di Ma’had Islamy, perguruan yang terkenal di Mekah saat itu. Kelak, nama itu pula yang dipakai untuk mendirikan ponpesnya sendiri, demi mengenang masa-masa indah saat belajar di sana selama 6 tahun. Pulang dari tanah suci, ia pun mendirikan Ma’had Islamy. Berkat inovasi-inovasi yang ia lakukan, Ma’had Islamy berkembang cepat menjadi pusat pendidikan agama waktu itu. Ratusan santri Ma’had Islami tidak hanya dari Payakumbuh, namun juga dari daerah lain di Sumbar dan di luar Sumbar.
Buya Zainuddin dikenal dekat dengan santrinya. Jika ada waktu luang, ia tak sungkan untuk bermain sepak bola dengan para santrinya. Berkat “tangan dingin”nya Ma’had Islamy berhasil melahirkan para alumnus yang handal. Di antaranya Qari Zubir Said, Ahli Hisab Arius Saikhi, Guru Besar UI Abdurrahman Zainuddin yang merupakan putra Buya Zainuddin sendiri, Intelektual Minangkabau C. Israr, mantan Ketua MUI Sumatera Barat Prof. DR. H. Mansur Malik, dan lain-lain.
Perjuangan Melawan Penjajah
Sukses sebagai tokoh pendidikan Islam, tak membuat Buya Zainuddin hanya asyik masyuk dengan kenikmatan ibadah dan kenikmatan ilmu di dunia pesantren. Ia turun dari “menara gading” dengan kesadaran bahwa Islam harus mewarnai setiap sisi kehidupan dan tegak bersama umat dalam menghadapi berbagai problematikanya.
Makanya, Buya Zainuddin Hamidy turut memimpin pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam buku yang ditulis Hikmat Israr dengan judul Angku Mudo Zainuddin Hamidy (2010), Buya menginisiasi “Kelompok Lima” yang terdiri dari Buya sendiri, Fakhruddin HS, Arisun Sutan Alamsyah, Haji Nasharuddin Thaha, dan Haji Darwis Taram. Dalam kelompok intelektual itu, didiskusikan perkembangan dan persiapan langkah strategis menuju kemerdekaan Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Buya dipercaya sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Luhak Lima Puluh Kota. Kemudian beliau membentuk Laskar Sabilillah untuk melawan agresi Belanda dimana komandan laskar tersebut dipercayakan kepada murid beliau, C. Israr yang telah mengikuti pendidikan opsir di Kamang.
Totalitas Buya Zainuddin dalam berjuang melawan penjajah Belanda tak diragukan lagi. Bahkan, Buya menyediakan gedung Ma’had Islamy sebagai sebagai tempat latihan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan laskar-laskar perjuangan. Beliau mengobarkan semangat jihad di kalangan prajurit dan laskar agar yakin memenangkan pertempuran. Kalaupun harus gugur, maka mereka wafat sebagai syuhada yang tak perlu ditangisi.Tak ayal, prajurit dan laskar bersemangat menuju front pertempuran di area Padang.
Ketika akhirnya tentara Belanda sampai ke Payakumbuh, Ma’had Islamy terpaksa ditutup karena Buya ikut mengungsi ke luar daerah untuk berperang gerilya. Saat ditinggalkan, Ma’had Islamy diobrak-abrik Belanda. Tragisnya, buku-buku perpustakaan terutama milik pribadi Buya yang tak ternilai harganya, turut dihancurkan Belanda.
Setelah pemulihan keamanan dan penyerahan kedaulatan, barulah perguruan Ma’had Islamy dibuka lagi. Murid-murid pun berdatangan kembali. Peringatan ke 25 tahun Ma’had Islamy, 21 Januari 1955, berlangsung meriah dihadiri oleh Gubernur Sumatera Tengah, Bupati Limapuluh Kota, dan para tokoh masyarakat. Di samping eksistensi Ma’had Islamy saat itu yang cukup besar, penghargaan masyarakat terhadap Buya Zainuddin begitu tinggi. Beliau ulama terkemuka Sumbar yang memiliki kharisma sehingga disegani dan dihormati. (bersambung)