Buya Zainuddin Hamidy, Pendiri Ma’had Islamy, Ulama Pejuang dari Payakumbuh (II)

    1101

    #Serial Kepahlawanan Humas Diskominfo Payakumbuh

    Masuk Politik

    Sebagai konsekuensi pemahaman Islam yang syamil, kamil dan mutakammil, Buya Zainuddin tak canggung terjun ke ranah politik. Ia bergabung bersama Permi, dan terakhir menjadi Ketua Masyumi Kabupaten Limapuluh Kota. Di Partai besutan Muhammad Natsir itu, Buya Zainuddin aktif bermusyarakah siyasiah (partisipasi politik) sampai akhir hayatnya tahun 1957.

    Ketika terjadi ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, Buya Zainuddin bertindak sebagai utusan Sumatera Tengah untuk berunding dengan Presiden Soekarno. “Usul awak kurang dapat perhatian Presiden Soekarno, barangkali akan terjadi perang saudara. Tapi awak jangan melihat hendaknya,” kata Buya suatu kali kepada istrinya.

    Firasat orang beriman itu benar. “Takutlah dengan firasat orang yang beriman, sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Allah,” kata Nabi Saw. Tahun 1958 dan tahun-tahun berikutnya ranah Minang menempuh takdirnya. Tentara pusat masuk. Datang sejarah kelam ketika orang minang sendiri takut memberi nama anaknya dengan bau minang.

    Buya Zainuddin tak melihat masa-masa itu. Buya berpulang ke rahmatullah pada hari yang mulia, sayyidul ayyam, Jum’at , 29 Maret 1957. Wafatnya begitu tiba-tiba, tanpa menderita sakit terlebih dahulu. Malamnya Buya masih menghadiri pertemuan dengan Kolonel M Simbolon dan tokoh lainnya di Gedung Pertemuan Payakumbuh.

    Wafatnya Buya Zainuddin membuat Sumbar berkabung khususnya masyarakat Payakumbuh. Kata Ahli Hisab Arius Syaikhi, belum pernah terjadi di Payakumbuh begitu banyak orang yang mengantarkan jenazah ke pekuburan, selain jenazah Buya Zainuddin Hamidy. Ribuan umat tumpah ruah saat penyelenggaraan  jenazahnya. Allahu yarham.

    Keluarga Buya Zainuddin Hamidy

    Untuk menelusuri keluarga yang ditinggalkan Buya Zainuddin, Tim Humas  Diskominfo Payakumbuh menemui putra Buya yang tinggal di Kota Payakumbuh yaitu Ramzi Zainuddin (77 tahun). Saat ditemui di kediamannya di Balai Nan Duo, Payakumbuh Barat, Ketua Yayasan Ma’had Islamy itu bercerita, Buya mempunyai 2 istri dimana dari tiap istrimya memiliki 7 orang anak.

    “Jadi totalnya semua ada 14 orang, namun yang masih hidup tinggal 10 orang. Saya anak yang keempat dari istri beliau yang pertama dan yang satu-satunya tinggal di Payakumbuh. Yang lain kebanyakan tinggal di Jakarta,” tutur Ramzi.

    Bagi Ramzi, Buya merupakan sosok yang pembawaannya tenang, pendiam, dan bicara kalau ditanya saja. “Kalau mengaji baru banyak ceritanya. Dalam pergaulan sehari-hari ya biasa-biasa saja. Tapi kepada anak-anaknya, beliau tegas, semua harus masuk sekolah agama,” ucapnya.

    Ramzi mengenang, dia bersama saudara-saudaranya yang lain pernah diungsikan oleh Buya ke Padang Japang karena Buya pergi berperang gerilya. “Selain pejuang agama dan pendidikan, beliau adalah pejuang kemerdekaan.  Kami anak-anak beliau selalu dibina untuk jadi pemuda pejuang,” ujarnya.

    Dinobatkan Sebagai Tokoh Pejuang Agama

    Atas perjuangan yang dilakukan Buya Zainuddin Hamidy sepanjang hidupnya,  Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memberikan penghargaan kepada almarhum dengan sebutan sebagai “Pejuang Agama”. Piagam penghargaan tersebut diserah oleh Gubernur Sumbar Azwar Anas kepada istri beliau, Dasimah Yasin pada peringatan Kemerdekaan RI ke-23 di Gubernuran, Kota Padang, 17 Agustus 1978.

    Selain itu, Pemerintah Kotamadya Payakumbuh mengabadikan nama beliau menjadi nama sebuah jalan di Kelurahan Padang Tinggi, Kecamatan Payakumbuh Barat, yakni Jalan. H. Zainuddin Hamidy.

    Disinyalir Wafat Diracun PKI

    Pada akhir hayatnya, Ramzi mengaku Buya sering diincar dan dihantui oleh orang-orang PKI. “Setelah perjuangan melawan Belanda, beliau dimusuhi orang-orang PKI karena mereka sangat tidak menyukai ulama. Depan rumah kami sering ditandai simbol agar jadi target pembunuhan PKI,” ucapnya.

    Menurut Ramzi, besar sekali kemungkinan Buya Zainuddin wafat diracuni oleh orang PKI. Pasalnya, pada malam setelah pertemuan dengan Kolonel Simbolon, Buya pergi ke sebuah pertemuan di Lurah Kincia, Situjuah. Setelah itu beliau pulang kembali untuk tidur.

    “Beliau itu tidak biasa minum kopi. Namun entah kenapa malam itu beliau malah minum kopi di sana. Mungkin sudah ajalnya juga. Kondisi badannya saat meninggal agak kebiru-biruan. Namun saat ini kami berpikiran memang sudah umurnya segitu,” tuturnya. (habis)