Oleh : Indra Martini
(Wakil Ketua PPID Utama Pemko Payakumbuh)
Apa yang hari ini lebih berbahaya dampaknya di negeri ini selain korupsi, Narkoba, dan hal buruk lainnya ? Ya, itu, hoax. Seperti korupsi dan Narkoba, hoax tak lagi mendera kalangan terbatas, tapi sudah menyentuh dan menghinggapi kalangan atas Indonesia.
Penggunaan media digital, khususnya berbasis media sosial di tengah-tengah masyarakat seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab, sehingga tidak jarang menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax, fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.
Penetrasi pengguna internet Indonesia mencapai 132,7 juta orang (IndonesiaBaik.Id). Kebanyakan dari pengguna internet Indonesia mereka menggunakan internet untuk mencari informasi. Namun, tidak sedikit informasi di internet merupakan hoax (informasi tidak benar).
Ada beberapa alasan utama orang-orang Indonesia mengakses internet. Ada yang menggunakan internet untuk Update Informasi (25,3%), Pekerjaan (20,8%), Pengisi Waktu Luang (13,5%), Sosialisasi (10,3%), Pendidikan (9,2%), Hiburan (8,8%), dan Bisnis (8,5%).
Sebetulnya, apa yang harus dilakukan agar terhidar dari menjadi korban hoax ? Jawabannya sederhana saja, cerdas ber-internet !
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 telah membeikan pedoman bagaimana bermuamalah melalui media sosial.
Muamalah adalah proses interaksi antar individu atau kelompok terkait dengan hablun minannaas (hubungan antar sesama manusia) meliputi pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.
Ghibah adalah penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
Fitnah (buhtan) adalah informasi bohong tentang seseorang atau tanpa berdasarkan kebenaran dan disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik dan merugikan kehormatan orang).
Namimah adalah adu domba antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain yang berusaha menjelekkan yang lainnya kemudian berdampak pada saling membenci.
Dalam bermuamalah dengan sesama, menurut ketentuan hukum, baik dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketaqwaan, kebajikan (mu’asyarah bil ma’ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-nahyu ‘an al-munkar).
Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib menjaga diri agar tidak terdorong kepada kekufuran dan kemaksiatan. Mempererat ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan ke-Islaman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), maupun ukhuwwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.
Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan. Melakukan bullying, ujaran kebencian, permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan.
Penyebaran konten atau informasi, perlu diperhatikan kebenaran informasi tersebut, baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat, latar belakang serta konteks informasi yang disampaikan. Selain bermanfaat bagi diri penyebar maupun bagi orang atau kelompok yang akan menerima informasi tersebut. Juga bersifat umum, tepat waktu dan tempat, tepat konteks dan memiliki hak.
Untuk memastikan bahwa informasi tersebut memiliki kebenaran dan bermanfaat, perlu digunakan langkah untuk bertanya kepada sumber informasi jika diketahui, atau permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi.
Kecendrungan sekarang, banyak informasi yang menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak.
Setiap orang yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski dengan alasan tabayun. Jika seseorang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melakukan pencegahan dengan cara mengingatkan penyebar secara tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar tersebut.
Orang yang telah bersalah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal sejenis, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat dengan meminta ampun kepada Allah (istigfar) serta meminta maaf kepada pihak yang dirugikan, menyesali perbuatan, dan berkomitmen tidak akan mengulangi.
UU ITE No.11/2008 pun pada beberapa bagian telah mengingatkan. Seperti pada Pasal 27 ayat 1-4 dan Pasal 29 telah secara jelas dan gamblang melarang setiap orang melakukan hal yang merugikan orang melalui kegiatan informasi dan transaksi elektronik. Termasuk melakukan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Dalam Pasal 45 ayat 2, hukuman pidana yang diberikan kepada orang ini, yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milyar.
Karena dampak hoax ini sangat dasyat, sekali lagi ditekankan, langkah-langkah agar terhindar jadi korban hoax yakni dengan mencek sumber berita. Pastikan informasi yang didapat berasal dari sumber kredibel. Jangan terprovokasi, bandingkan informasi dari sumber lain, dan yang lebih penting banyak membaca. Banyak referensi sangat baik untuk membandingkan benar tidaknya sebuah informasi.-
Sumber Bacaan :
– IndonesiaBaik.id
– Fatwa MUI No. 24/2017