Puasa Sunnah di Bulan Muharram

243
Puasa Sunnah di Bulan Muharram

Saat ini umat Islam baru saja memasuki tahun baru 1442 Hijriyah. Dimana penanggalan ini dimulai dengan bulan pertamanya di Muharram. Salah satu amalan yang sangat dianjurkan adalah melaksanakan puasa sunnah di bulan Muharram.

Nabi Muhammad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

Berdasarkan hadist diatas, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, Hadits ini dengan tegas mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa sunnah setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram. Beliau rahimahullah juga mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa sunnah muthlaq. (Latha’if Ma’arif, hal. 36)

Akan tetapi, banyak yang kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan bulan Muharram. Bagaimana menjawab hal ini? An Nawawi menjawab keraguan semacam ini dengan dua jawaban:

Pertama: mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui keutamaan berpuasa pada bulan Muharram di akhir hayat hidupnya.

Kedua: mungkin juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat udzur sehingga tidak bisa melakukan banyak puasa di bulan Muharram. Mungkin beliau banyak melakukan safar, sakit atau ada keperluan lainnya ketika itu. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 4/185)

Bahkan dikatakan oleh Ibnu Rajab bahwa di antara salaf yang melakukan puasa di bulan Muharram sebulan penuh adalah Ibnu Umar dan Al Hasan Al Bashri. (Lihat Latha’if Ma’arif, hal. 36).

Praktik Baik Cegah Korupsi, Riza Falepi Penuhi Undangan KPK

Puasa Asyura Menghapus Dosa Setahun yang Lalu

Puasa di bulan Muharram yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari Asyura yaitu pada tanggal 10 Muharram karena berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.

Abu Qatadah Al Anshariy berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai (keutamaan) puasa hari Asyura. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Puasa Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Apakah Hukum Puasa Asyura?

An Nawawi menjelaskan, para ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa pada hari Asyura adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka berselisih mengenai hukum puasa Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika disyariatkannya puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan.

Menurut Imam Abu Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam adalah wajib. Sedangkan dalam Syafiiyah ada dua pendapat yang masyhur. Yang paling masyhur, yang menyatakan bahwa hukum puasa Asyura semenjak disyariatkan adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib.

Namun dulu, puasa Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Ketika puasa Ramadhan disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak seperti pertama kalinya.

Pendapat kedua dari Syafiiyah adalah yang menyatakan hukum puasa Asyura di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua ini sama dengan pendapat Abu Hanifah.” (Syarh Shahih Muslim, 4/114)

Jadi jelaslah sudah bahwa hukum puasa Asyura saat ini adalah sunnah dan bukanlah wajib. Akan tetapi sebaiknya kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang sangat utama ini. Pahala yang begitu melimpah akan menanti.

Dan juga ada pahala lain yang didapat orang yang suka melaksanakan amalan sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini.

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Dari hadist di atas orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya doa. (Lihat Fathul Qawil Matin).

Ditambah Berpuasa Pada Tanggal 9 Muharram Akan Lebih Baik Lagi

Sebagaimana dijelaskan di awal (pada hadits Ibnu Abbas) bahwa di akhir umurnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menambah puasa pada hari kesembilan Muharram untuk menyelisihi Ahlu Kitab. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah keburu meninggal sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat melakukan puasa pada hari itu.

Lalu bagaimana hukum melakukan puasa pada hari kesembilan Muharram? Berikut kami sarikan penjelasan An Nawawi rahimahullah.

Imam Syafi’i dan pengikutnya (Syafi’iyyah), Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.

Apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan adalah agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.

Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari Asyura (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 4/121).

Upaya Mengurangi Kerumunan, Beberapa Counter MPP Tutup Sementara

Ibnu Rajab mengatakan, “Di antara ullama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafii, Imam Ahmad, dan Ishaq. Sedangkan Imam Abu Hanifah memakruhkan berpuasa pada hari sepuluh saja (tanpa hari kesembilan).” (Latha’if Ma’arif, hal. 53)

Jadi, lebih baik adalah kita berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Inilah tingkatan yang paling utama. Sedangkan berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja adalah tingkatan di bawah tingkatan pertama tadi. Inilah yang dijelaskan Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhahullah dalam kitab beliau Tajridul Ittiba.

Bagaimana Jika Ditambah Berpuasa pada Tanggal 11 Muharram?

Sebagian ulama berpendapat tentang dianjurkannya puasa pada hari ke-9, 10, dan 11. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasalah pada hari Asyura (10 Muharram, pen) dan selisihilah Yahudi. Puasalah pada hari sebelumnya atau hari sesudahnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu ‘Adiy, Al Baihaqiy, Al Bazzar, Ath Thohawiy dan Al Hamidiy, namun sanadnya dha’if (lemah). Adz Dzahabiy mengatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dalil.

Namun, terdapat hadits yang diriwayatkan Abdur Razaq, Ath Thahawiy dalam Ma’anil Atsar, dan juga Al Baihaqi, dari jalan Ibnu Juraij dari ‘Atho’ dari Ibnu Abbas. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata,

“Selisihilah Yahudi. Puasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.” (Sanad hadits ini adalah shahih, namun diriwayatkan hanya sampai sahabat). (Dinukil dari catatan kaki pada Zaadul Ma’ad, 2/60, Darul Fikr yang ditahqiq oleh Syaikh Abdul Qadir Arfan).

Namun, hal ini bukan berarti berpuasa pada hari ke-11 Muharram tidaklah dianjurkan. Dalam rangka kehati-hatian dalam penentuan awal Muharram, kita dianjurkan pula berpuasa selama tiga hari yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.

Dalam riwayat Al Maimuni, Imam Ahmad mengatakan, “Jika ada perselisihan dalam penentuan hilal, saya berpuasa selama tiga hari (9, 10 dan 11 Muharram) dalam rangka hati-hati.” (Lathaif Ma’arif, hal. 53)

Nah, dengan begitu lengkapnya penjelasan yang telah disusun oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal hendaknya dpaat menambah kekuatan kita untuk melaksanakannya.

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, S.T./

Sumber : muslim.or.id/sumbar24.com