Ratap dan Asa Jembatan Ratapan Ibu, Potret Wisata Payakumbuh Dulu dan Kini

346

Payakumbuh – Bagi wisatawan yang datang ke Kota Payakumbuh, sepertinya tidak akan berkesan hari-hari di Kota randang ini jika tidak singgah ke Jembatan Ratapan ibu, Sebuah Jembatan bersejarah nan penuh makna dan arti bagi orang Luak 50 (Kota Payakumbuh – Kabupaten Limapuluh Kota-red).

Lokasi ini berada di tengah Kota Payakumbuh. Jika masuk datang dari Kota Bukittinggi, setelah melewati gapura Selamat Datang di Kota Payakumbuh, Bukit Sibaluik, wisatawan tinggal menempuh jalan Soekarno-Hatta sepanjang 3 km.

Setalah bertemu dengan tugu Adipura, beloklah ke kanan ke arah pasar Kanopi lalu Jembatan ini akan bertemu setelah maju ke depan sejauh 500 meter.

Disarankan wisatawan datang pada malam hari. Suasana romantik akan terasa disaat lampu-lampu beragam warna menghiasi jembatan. Sungguh cantik dan menawan. Ditambah lagi, di tepi jembatan telah disediakan oleh Pemerintah Kota Payakumbuh spot untuk berselfie ria. Kenangan anda berjalan ke Kota Payakumbuh akan akan abadi dengan rona lampu hias ini.

Saat ini, Jembatan Ratapan ibu sudah menjadi salah satu unggulan pariwisata Kota Payakumbuh. Disini ada Ruang Terbuka Hijauh (RTH) jembatan yang bersih, nyaman dan indah. Cocok bagi wisatawan menghabiskan sore dan malam bersama keluarga. Disamping kiri dan kanan, banyak tempat untuk berbelanja. Tatanan nan romantik memberikan inspirasi bagi anda yang ingin memenangkan diri untuk berkarya.

“Di Jembatan Ratapan Ibu ini sudah kami poles secara perlahan. Sebagai lokasi yang bersejarah, perlu pembenahan yang bersifat signifikan dan berkelanjutan. Sekarang sudah cocok sebagai spot untuk wisata,” kata Walikota Payakumbuh Riza Falepi melalui Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Elfriza “cece” Zaharman, Selasa (2/4).

Sebagai jembatan tertua di Kota Payakumbuh yang dibangun tahun 1840 M atau tepatnya 8 tahun setelah Belanda masuk ke Luak 50, cukup banyak yang menaruh rasa, harap dan asa dari Jembatan ini. Terlebih lagi ada kejadian penting pada masa Perjuangan Kemerdekaan RI tahun 1947.

Disini puluhan anak-anak di bantai oleh serdadu Belanda dan mayatnya di buang ke sungai Batang Agam. Para ibu yang anaknya menjadi korban kekejaman tentara Belanda hanya bisa meratap dan menangis diatas jembatan.

Sejarah Jembatan Ibu ini melekat dibenak orang Payakumbuh dan Sumatera Barat. Kisah dan sejarah yang sudah membahana ini memiliki peluang untuk mendatangkan para wisatawan untuk berkunjung ke Payakumbuh.

“Sebagai Jembatan yang bersejarah, perlu ada perhatian. Jadi kami sedang merancang untuk memperindah jembatan ini. Walaupun dalam sejarahnya disini terjadi pembantaian kepada anak-anak oleh serdadu Belanda,” ujar Cece.

Ditambahkan, “Selain mendukung situs sejarah, kami juga memfasilitasi masyarakat dan wisatawan untuk mengenang kembali peristiwa naas saat Perang kemerdekaan RI dulu. Apa yang telah kami lakukan ini juga sebagai bentuk penghormatan kepada para pejuang dan korban di jembatan Ratapan ibu ini dulu,” tambahnya.

Kedepan, jembatan ini akan dipoles sedemikian rupa dengan tata kelola manajemen profesional. Berbagai fasilitas wahana bermain, WC umum, tempat sampah, penambahan lampu dan ruang hijau akan dibangun.

“Jadi akan ada wahana bermain untuk wisatawan yang disediakan Pemko di lokasi ini. Termasuk WC umum dan pengamanan dari Pol PP di jembatan ini,” ucapnya.

Perlahan tapi pasti, hal inilah yang disebut oleh Elfriza untuk membangun jembatan Ratapan Ibu sesuai harapan bersama. Hari ini, Jembatan Ratapan Ibu sudah berbenah dan menjadi salah satu icon wisata unggulan Kota Payakumbuh. Kedepan, jembatan ini ditargetkan menjadi salah satu icon wisata unggulan di Sumatera Barat. (humas/ag)